Krisis politik di Mesir saat ini telah berganti menjadi perang saudara. Rakyat mesir yang mendukung Ikhwanul Muslimin dan Presiden Mohamed Morsi yang dikudeta militer kini berhadapan dengan tentara dan polisi yang didukung rakyat anti-Morsi.
Ribuan orang tewas sejak Morsi dikudeta pada 3 Juli 2013. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Amerika Serikat dan Israel berada di balik skenario ini. AS memang tampil ke muka mengecam pembantaian rakyat Mesir. Namun di balik itu semua, AS mempunyai peran sentral di balik perang saudara ini.
Krisis ini bermula dari terpilihnya Morsi sebagai Presiden Mesir melalui pemilihan umum yang sah. Melalui pemilu yang jujur dan adil, Morsi berhasil mengalahkan saingannya yang merupakan pendukung presiden terguling Hosni Mubarak yang didukung AS dan sekutunya.
Sayangnya, jagoan AS itu kalah dan Morsi tampil ke muka sebagai presiden pertama yang terpilih secara demokratis di Mesir. Sejak saat itulah AS dan Israel mulai khawatir akan kepentingannya di Mesir bisa terganggu oleh Morsi.
Awalnya, sebagai negara pengusung demokrasi, AS mau tidak mau harus mendukung Morsi karena ia adalah pemenang pemilu. Presiden Barack Obama menyatakan akan bekerja sama dengan presiden yang terpilih melalui pemilu.
Namun, arah angin AS cepat berubah. Ketika di kelompok oposisi mulai terlihat bergerak menentang Morsi, AS langsung balik badan. Obama mulai mengritisi Morsi, meskipun Morsi sudah memperlihatkan niat baiknya untuk bekerja sama dengan AS.
Obama pun menyampaikan pernyataannya mengenai sikap baru AS, semacam meralat ucapan sebelumnya yang akan menghormati pemerintahan hasil pemilu. “Demokrasi bukanlah semata-mata soal pemilu—Demokrasi juga menyangkut kerjasama dengan oposisi.”
Pernyataan itu seolah memberi angin kepada oposisi untuk bergerak. Apalagi Obama menegaskan bahwa pemerintahan Morsi harus segera melakukan pemilu lagi. Pernyataan ini tentu saja bertentangan dengan pernyataan sebelumnya yang akan mendukung pemerintahan hasil pemilu.
Itulah mengapa tidak lama setelah keluar pernyataan ini militer dengan leluasa melakukan kudeta terhadap Morsi. Dan, AS langsung menyambutnya dengan mengatakan bahwa harus segera terbentuk pemerintahan baru untuk menyelenggarakan pemilu.
1. Morsi Ganggu Ekonomi Israel dan AS
Presiden Mohamed Morsi adalah Ikhwanul Muslimin dan Ikhwanul Muslimin adalah juga Morsi. Pandangan ini tidak bisa dibantah karena memang Morsi adalah pengikut kelompok yang didirikan Syeikh Hassan Al Banna ini.
Kemenangan Morsi tidak membuat senang Israel yang didukung AS. Sebab, di masa Hosni Mubarak, Mesir tampil ke muka menjadi sekutu Israel dan AS sekaligus menjadi penyangga AS di Timur Tengah.
Secara ekonomi Ikhwanul Muslimin dianggap menjadi ganjalan mereka. Sebab, sejak dipimpin oleh Gamal Abdul Naser pada 1952, Mesir sengatlah bergantung kepada AS. Sejak Israel dan Palestina menandatangani perjanjian Oslo, Mesir terkena imbasnya karena berdasarkan perjanjian itu, Palestina harus mengakui hak hidup orang Israel.
Itu berarti perekonomian Israel harus juga terjamin. Akibatnya, Mesir yang merupakan penghasil gandum dibatasi untuk tidak terlalu banyak menanam gandum, kapas, dan beberapa komoditas yang dianggap mengancam ekonomi Israel dan AS. Sebagai gantinya, AS memberikan bantuan uang tunai dan beberapa komoditas seperti gandum dan makanan kepada Mesir.
Presiden Hosni Mubarak dengan mudah menyambar permintaan AS itu dan memilih menerima bantuan tunai. Namun, di era Morsi, Mesir akan dibawa menuju ke kemandirian ekonomi. Ini berarti pertanian Mesir akan kembali dihidupkan, terutama pertanian kapas dan gandum. Tentu saja, kebijakan tersebut dianggap oleh AS dan Israel sebagai penentangan terhadap mereka.
2. Ikhwanul Muslim Dukung Palestina Merdeka
Dari sisi politik,
Harian the Times of Israel, salah satu koran berpengaruh di Israel, pernah menurunkan tulisan mengenai pandangan terhadap Morsi. Di situ disebutkan bahwa Morsi adalah seorang anti-Semit. Morsi secara terbuka menyebut orang Israel sebagai “penghisap darah yang menyerang Palestina, pencaplok tanah orang, turunan monyet dan babi”. Morsi juga mengatakan pandangannya mengenai Yahudi, yakni mereka sudah terbukti dalam sejarah sebagai bangsa penghasut kebencian.
Ketika Morsi terpilih, Palestina dan semua yang mendukung Palestina merdeka senang bukan kepalang. Sebab, dari Morsi-lah mereka berharap perjanjian rahasia Camp David yang ditandantangani Presiden Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin akan dihapuskan.
Analis politik dari Lebanon, Kamel Wazni menyatakan bahwa rakyat Mesir ingin Palestina kembali ke tanah milik mereka yang dicaplok Israel. Ikhwanul Muslimin tentu akan mewujudkan keinginan tersebut, jika tidak ingin kehilangan dukungan dari rakyat Mesir.
Israel sangat khawatir Morsi dan Ikhwanul Muslimin akan membatalkan perjanjian Camp David. Apalagi saat ini, Israel sedang dikepung oleh berbagai kekuatan, seperti Hamas, Hisbullah, Suriah, dan Iran. Jika Camp David dibatalkan, sudah pasti Israel akan semakin repot.
3. Israel dan AS Sekutu Sejati Militer Mesir
Kelompok militer di Mesir adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kudeta terhadap Morsi dan pembantaian rakyat Mesir.
Militer Mesir memang layak menaruh dendam kepada Morsi. Sebab, di era Hosni Mubarak, militer merupakan anak kesayangan dan leluasa bermain dalam politik.
Sedangkan di era Morsi, militer dikesampingkan dan supremasi militer berada di tangan sipil. Oleh Morsi, tentara dikembalikan ke barak dan tidak boleh berpolitik. Langkah Morsi ini merupakan kebijakan yang biasa dilakukan di semua negara demokratis, seperti halnya di Indonesia.
Tentu saja, ini tidak membuat senang militer Mesir, dan juga tentunya Israel dan AS yang merupakan sekutu utama militer Mesir. Israel secara terang-terangan menyebutkan bahwa mereka merupkan sekutu kelompok militer di Mesir dan akan terus bekerjasama dengan mereka.
AS apalagi. Negara ini merupakan sekutu paling kuat bagi milite Israel. Setiap tahun AS menggelontorkan bantuan kepada mesir sebesar US1,5 miliar dan sebesar US$1,3 di antaranya adalah untuk militer.
Rakyat AS sendiri mengkritik pemberian bantuan itu. Bahkan harian Washington Post menurunkan artikel yang menyatakan bahwa AS memberikan bantuan militer ke Mesir melebihi kebutuhannya.
Sejak 1980-an, AS memberikan bantuan tank M1A1 Abram dan kini jumlah tank yang diberikan kepada militer Mesir sudah mencapai 1.000 buah, senilai US$3,9 miliar. Padahal, Mesir saat itu juga masih memakai perlengkapan militer buatan Rusia, sebuah hal yang ditabukan oleh AS.
“Sulit dibayangkan untuk apa tank sebanyak itu, kecuali untuk menghadapi seragan alien,” ujar Shana Marshall dari Intitute of Middle East Studies at George Washington University.
Selain tank, AS juga menyuplai pesawat tempur F-16. Sejak 1980-an AS telah memberikan 221 buah pesawat F-16 kepada militer Mesir senilai US$8 miliar. Jumlah itu melebihi kebutuhan negara tersebut sehingga banyak penasehat militer di Kairo menyarankan untuk tidak menerima bantuan itu.
Bagaimana sikap AS trehadap pembantaian warga Mesir? Tentu saja, bukan AS kalau tidak bermuka dua. AS memang sempat mengancam akan menghentikan bantuan itu ketika Morsi digulingkan. Namun, ternyata bantuan itu tetap dikucurkan dan ketika terjadi pembataian terhadap warga Mesir belum lama ini, AS juga tidak menghentikan bantuan itu, melainkan hanya berwacana.