Minggu, 10 Februari 2013

Hukum Memelihara Jenggot dan Mencukur Kumis

Epras2.blogspot.com -- Memelihara jenggot wajib hukumnya berdasarkan perintah Rasulullah SAW. lbnu Umar telah meriwayatkan dari Nabi SAW yang mengatakan sebagai berikut:

"Berbedalah kamu dengan orang-orang musyrik, peliharalah jenggot dan cukurlah kumis."

(HR. Bukhari)

Perkataan i'fa (pelihara) dalam riwayat lain diartikan tarkuha wa ibqaauha (tinggalkanlah dan tetapkanlah). Hadis ini menerangkan alasan diperintahkannya untuk memelihara jenggot dan mencukur kumis, yaitu supaya berbeda dengan orang-orang musyrik.

Di dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah y, dia berkata, Rasulullah –shollallaahu’alaihi wasallam- bersabda (artinya),
"Potonglah kumis dan biarkanlah jenggot memanjang,
selisihilah orang-orang Majusi." (Shahih Muslim, kitab ath-Thaharah (260)).


Imam an-Nasa'i di dalam Sunannya mengeluarkan hadits dengan sanad yang shahih dari Zaid bin Arqam , dia berkata, Rasulullah –shollallaahu’alaihi wasallam- bersabda,
"Barangsiapa yang tidak pernah mengambil dari kumisnya (memotongnya), maka dia bukan termasuk dari golongan kami." (Sunan at-Tirmidzi, kitab al-Adab (2761); Sunan an-Nasa'i, kitab ath-Thaharah (13) dan kitab az-Zinah (5047)).

Al-'Allamah Besar dan al-Hafizh terkenal, Abu Muhammad bin Hazm berkata, "Para ulama telah bersepakat bahwa memotong kumis dan membiarkan jenggot tumbuh adalah fardhu(wajib)."

Hadits-hadits tentang hal ini dan ucapan para ulama perihal memotong habis kumis dan
memperbanyak jenggot, memuliakan dan membiarkannya memanjang banyak sekali, sulit untuk mengkalkulasi kuantitasnya dalam risalah singkat ini.

Dari hadits-hadits di muka dan nukilan ijma' oleh Ibnu Hazm diketahui bahwa memelihara, memperbanyak dan membiarkan jenggot memanjang adalah fardhu, tidak boleh ditinggalkan sebab Rasulullah memerintahkan demikian sementara perintahnya mengandung makna wajib sebagaimana firman Allah –subhanahu wata’ala- (artinya),
"Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." (Al-Hasyr: 7).

Demikian pula, menggunting (memotong) kumis wajib hukum-nya akan tetapi memotong habis adalah lebih afdhal (utama), sedang-kan memperbanyak atau membiarkanya begitu saja, maka tidak boleh hukumnya karena bertentangan dengan sabda Nabi SAW.

Keempat lafazh hadits tersebut, semuanya terdapat di dalam riwayat-riwayat hadits yang shahih dari Nabi –shollallaahu’alaihi wasallam-, sedangkan pada lafazh yang terakhir tersebut terdapat ancaman yang serius dan peringatan yang tegas sekali. Hal itu kemudian mengandung konsekuensi wajibnya seorang Muslim berhati-hati terhadap larangan Allah dan RasulNya dan bersegera menjalankan perintah Allah dan RasulNya.

Dari hal itu juga diketahui bahwa memperbanyak kumis dan membiarkannya merupakan suatu perbuatan dosa dan maksiat. Demikian pula, mencukur jenggot dan memotongnya termasuk perbuatan dosa dan maksiat yang dapat mengurangi iman dan memperlemahnya serta dikhawatirkan pula ditimpakannya ke-murkaan Allah dan azabNya.

Di dalam hadits-hadits yang telah disebutkan di atas terdapat petunjuk bahwa memanjangkan kumis dan mencukur jenggot serta memotongnya termasuk perbuatan menyerupai orang-orang majusi dan orang-orang musyrik padahal sudah diketahui bahwa menyerupai mereka adalah perbuatan yang munkar, tidak boleh dilakukan berdasarkan sabda Nabi –shollallaahu’alaihi wasallam-,
"Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongan mereka.
(Sunan Abu Daud, kitab al-Libas (4031); Musnad Ahmad (5093, 5094, 5634)).


Pendapat yang mengatakan bahwa memelihara jenggot itu termasuk perbuatan Rasulullah yang bersifat duniawiah, bukan termasuk persoalan syara' yang harus ditaati adalah pendapat yang mungkar dan (harus) ditolak. Yang benar, bahwa memelihara jenggot itu bukan sekedar fi'liyah Nabi, bahkan ditegaskan pula dengan perintah dan disertai alasan supaya berbeda dengan orang kafir.Ibnu Taimiyah menegaskan, bahwa berbeda dengan orang kafir adalah suatu hal yang oleh syara' ditekankan -karena dapat menimbulkan kerusakan. Dan setiap hal yang menjadi sebab timbulnya suatu kerusakan, syara' menganggapnya suatu hal yang haram. (Lihat kitab Iqtidhaus Shiratil Mustaqim)


Rujukan:
Kumpulan Fatwa-fatwa, Juz III, hal. 362, 363 dari Syaikh Bin Baz.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.


Sumber : Rabbbani notes

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar