Barangkali kita sudah tidak asing lagi dengan kisah Imam al Ghazali dengan seekor lalat yg diabadikan dalam dalam salah satu kitabnya, Ihya’ Ulum al-Din. Suatu hari ketika beliau sedang menulis, ada seekor lalat yang terbang mendekat dan hinggap di tinta penanya. Awalnya al-Ghazali bermaksud mengusir lalat tersebut karena merasa terganggu. Namun menyadari bahwa sang lalat sedang kehausan dan meminum tintanya, dibiarkanlah lalat itu minum sepuasnya hingga lalat tersebut terbang kembali.
Malam harinya beliau bermimpi sedang dihisab di padang mahsyar dan pengadilan akhirat ternyata memutuskan al- Ghazali menjadi salah satu ahli syurga. Saat itulah kemudian muncul suara yang menggema di telinganya,
“Wahai Ghazali, menurutmu amal apa yang menyebabkan engkau termasuk golongan ahli syurga?”
Al-Ghazali menjawab; “Engkau lebih tahu ya Allah, tetapi kalau aku boleh menebak, maka kitab- kitab karanganku lah yang menyebabkan semua ini”.
Suara itu berkata: “Bukan wahai Ghazali, karanganmu memang banyak, kitabmu berjilid- jilid, tetapi yang menyebabkan beratnya timbangan pahalamu adalah seekor lalat yang engkau biarkan minum ketika ia kehausan”.
Masuk syurga karena seekor lalat, mungkin sulit diterima sisi akal rasional kita, namun begitulah nyatanya.
Atau terkisahkan ketika Rasulullah SAW meminta Aisyah ra menghidangkan sop kaki sapi kepada tetangganya, padahal bagi orang Arab hidangan kaki sapi bisa dibilang bukan hidangan yg baik sehingga membuat beliau malu utk menghidangkannya. Maka Rasulullah pun menegaskan kepadanya bahwa jangan malu dan berkecil hati dalam memberi, dalam beramal, memberi, walaupun kemampuannya baru sebatas sop kaki sapi.
Dari sini kita belajar bahwa begitu tidak terpujinya kita bila selama ini sering meremehkan amalan2 kecil, melalaikan satu demi satu peluang2 kebaikan yg sebenarnya bisa kita ambil.
Berapa banyak bilangan2 tilawah yg telah kita lalaikan?
Berapa banyak kotak amal atau sunduk yang lewat begitu saja di depan mata kita?
Berapa banyak hari i'tikaf yang kita tinggal hanya karena masalah genap dan ganjil?
Sepatutnya kita meneladani kisah Bilal bin Rabah merasa sedih hingga Rasulullah menanyakannya,
"Wahai Bilal, mengapa Engkau bersedih?"
"Ya Rasulullah..sungguh aku bersedih karena aku tidak pernah bisa menyaingi amal2 Abu Bakar, Umar, dan Ustman..Mereka kaya raya, mereka banyak berinfak dan berzakat, mereka banyak membantu jihad dg hartanya.."
"Aku hanya bisa melakukan amalan sederhana, dimana ketika wudhu ku batal, maka aku mengambil air utk wudhu kembali dan shalat dua rakaat. Setiap kali wudhu ku batal, maka aku pasti melakukannya."
Maka Rasulullah SAW bersabda,
"Sungguh baru saja datang malaikat Jibril kepadaku, ia mengabarkan agar Engkau tdk perlu bersedih, karena bunyi bakiak yg sering Engkau gunakan utk berwudhu sudah terdengar suaranya hingga ke syurga.."
Semoga menyemangati kita utk memperjuangkan kembali bilangan-bilangan tilawah kita semaksimal mungkin menuju target kita. Menghidupkan kembali malam-malam i'tikaf kita tanpa perlu memperhitungkan ganjil atau tidak, walaupun malam 27 atau tidak.
Wallohul musta'an.
Ust. Anwar, Lc. Islamedia