Akhir-akhir ini, pertumbuhan
organisasi Islam dan jumlah aktivis Islam semakin banyak, bahkan sangat
banyak. Kalau kita masuk ke pelosok-pelosok desa, sudah semakin banyak
jumlah aktivisnya. Apalagi di kota besar, di kampus-kampus sangat
banyak aktivisnya.
Namun, kalau kita perhatikan lebih dalam, maka kita akan menemui dari
sekian banyak aktivis yang ada hari ini hanya sebagian kecil yang
benar-benar dengan serius mengemban amanah dakwah, hanya sedikit yang
memiliki tekad yang besar dalam beramal. Bisa dihitung orang-orang yang
sebenarnya paling pantas menyandang predikat sebagai aktivis Islam.
Mungkin jumlah aktivis yang benar-benar ikhlas dan berkontribusi
sungguh-sungguh tidak lebih dari puluhan saja. Dan mungkin Anda bisa
menghafal nama-nama mereka karena memang sangat sedikit.
Data aktivis Islam itu hanya terlihat banyak di dokumen, arsip, dan database
saja. Namun kemana semua aktivis Islam itu pergi saat ada
proyek-proyek amal yang menuntut kontribusi? Jika kita mau jujur pada
diri kita, hari ini, yang banyak adalah kader aktivis Islam yang hanya
menjadi penikmat-penikmat dakwah. Yang hanya hadir dari majelis ke
majelis ilmu, kemudian mereka menjadi pengamat yang begitu nikmat
mengomentari ini dan itu tentang perkembangan dakwah Islam hari ini.
Mereka merasa cukup dengan perubahan mereka dari seorang muslim yang
biasa-biasa saja, kemudian hari ini mereka telah masuk dalam lingkaran
aktivis Islam. Mereka berhenti dan merasa cukup dengan apa yang ada
pada diri mereka hari ini. Jika Anda bertanya pada mereka di organisasi
mana saya mereka aktif, maka sebagian mereka bisa menyebutkan begitu
banyak organisasi tempat mereka aktif, rata-rata diatas lima sampai
sepuluh organisasi, namun hanya terdaftar namanya saja.
Jika suatu ketika Anda bertanya tentang peran dan kontribusi mereka
dalam dakwah sejak mereka menyatakan bergabung dengan barisan aktivis
dakwah Islam, mereka hanya berkata, “Wah…, saya hanya simpatisan,” atau
“Saya hanya pendengar saja,” ada juga yang lebih parah mengatakan
“Saya terjebak!” dan kalimat-kalimat lainnya yang sejenis.
Hari-hari mereka penuh dengan rutinitas. Setiap pekan jasad mereka hadir dalam lingkaran-lingkaran ta’lim (halaqah).
Jasad mereka juga hadir dalam rapat dan pertemuan-pertemuan kader
dakwah. Mereka juga hadir dalam seminar-seminar dakwah. Mereka membaca
buku-buku dakwah. Mereka sangat menikmati artikel-artikel Islam dan
kajian-kajian dakwah. Dan hanya sebatas itu. Ya, sungguh hanya itu saja
yang mereka lakukan.
Namun ada pula yang lebih parah, mereka tidak tertarik membaca buku, dan mulai malas-malasan hadir di pengajian, saat halaqah
yang mereka pertontonkan hanya kelemahan mereka, dengan memamerkan
wajah ngantuk mereka. Jika Anda bertanya pada mereka, berapa buku yang
sudah mereka baca, maka mereka hanya menuntaskan membaca satu atau dua
buku saja dalam setahun. Ada pula yang hanya asyik membaca novel-novel
dan cerpen yang kesannya sangat Islami kisahnya. Mereka hanyut dalam
angan-angan cinta yang “islami”. Padahal kalau mau berkaca, orang-orang
di level mereka semestinya bukan lagi menjadi penikmat novel-novel dan
cerpen. Harusnya buku yang mereka konsumsi adalah buku-buku yang
berhubungan dengan pemahaman dakwah mereka, karena mereka telah berjanji
setia bahwa mereka telah menginfakkan harta dan jiwa mereka untuk
memperjuangkan dakwah Allah. Mana janji manismu?
Biasanya, jika Anda perhatikan kehadiran mereka dalam agenda-agenda dakwah. Kebiasaan terlambat sudah menjadi trademark
mereka. Karena mereka hanya memberikan waktu siwa mereka untuk dakwah
Islam. Atau sedikit saja dari harta mereka untuk diinfakkan dijalan
dakwah.
Padahal Allah pernah berfirman, “Dan janganlah kalian memilih yang buruk lalu kalian infakkan darinya.” (QS Al Baqarah 267)
Lalu kenapa yang diinfakkan adalah waktu sisa? Uang receh yang sudah
tidak lagi berharga bagi mereka? Bukan kah Allah hanya menerima yang
terbaik dari hambanya?
dakwah ini membutuhkan waktu utama kita, bukan waktu sisa.
dakwah ini membutuhkan harta utama kita, bukan harta sisa.
dakwah ini membutuhkan usia muda kita yang produktif, kuat dan sehat.
Islam ini meminta yang paling baik, mulia, dan agung dari diri kita semua.
Kalau kita lihat kembali sejarah para sahabat dan orang-orang shalih di
masa lalu, kita akan temukan Abu Bakar yang telah menyedekahkan
seluruh hartanya untuk dakwah. Saat Rasulullah bersabda, “Wahai Abu
Bakar, apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?”
Abu Bakar menjawab, “Aku sisakan Allah dan Rasul-Nya untuk mereka.”
Tentu kita pun tahu siapa yang menjadi penyandang dana pasukan ummat
Islam saat Perang Tabuk berlangsung? Beliau adalah Utsman bin Affan.
Kita bisa bayangkan bagaimana beratnya beliau penjadi donatur tunggal.
Beliau yang membiayai semua kebutuhan pasukan Muslimin saat itu. Mulai
dari perbekalan, kendaraan perang bahkan sampai membiayai persenjataan
saat itu. Dan kita pun tahu saat perang Tabuk jumlah pasukan Muslimin
yang beliau biayai, lebih dari sepuluh ribu pasukan. Dan masih banyak
lagi contoh kontribusi dakwah terbaik yang dipersembahkan oleh aktivis
Islam di masa lalu.
Apa yang kita temukan hari ini? Bukan tidak banyak orang yang kaya
raya, dan mereka adalah Muslim. Dan mereka pun adalah aktivis Islam.
Namun kita tidak melihat mereka berinfak untuk membiayai dakwah dengan
harta terbaik mereka. Bisa diamati bagaimana mereka begitu berat
mengeluarkan infak bulanan dari penghasilan mereka untuk membiayai
dakwah. Siapa yang siap menanggung dan membiayai proyek dakwah yang
dahsyat ini? Siapa?
Sahabatku, sebenarnya masih banyak yang perlu kita renungi tentang
keberadaan diri kita selama kita telah memutuskan untuk beriltizam
dengan dakwah ini. Ketika saya mengatakan “mereka” sesungguhnya saya
tidak sedang menunjuk siapa siapa. Bayangkan dihadapat kita ada cermin.
Lihatlah wajah kita dicermin itu. Bertanyalah pada diri apakah benar
kita aktivis dakwah Islam? Seperti kitakah profil kader dakwah Islam
itu?
Mari bertanya, jika memang kita mengaku sebagai aktivis dakwah Islam,
sudah berapa orang yang kita ajak pekan ini untuk hidup bahagia bersama
Islam? Berapa orang yang sudah menjadi lebih baik di lingkungan kita
dengan keberadaan kita? Bagaimana anak-anak kita? Apakah mereka
betul-betul sudah hidup dalam nilai-nilai dakwah Islam? Bagaimana dengan
istri dan suami kita? Apakah kita sudah hidup Islami? Sudahkah kita
mendakwahi keluarga kita, tetangga kita, orang tua kita, atau mungkin
kita belum melakukan semua itu? Lalu siapakah kita sebenarnya?
Sahabatku, jangan sampai hanya nama kita saja yang terdaftar dalam
keanggotaan semua organisasi dakwah. Jangan sampai kehadiran kita dalam
kegiatan kegiatan dakwah hanya untuk setor wajah dan mengisi absensi.
Kemudian duduk, dengar, dan diam.
Mari kita buktikan bahwa kita betul-betul telah beriltizam dalam dakwah
ini. Karena Islam memerlukan aktivis yang rela berkorban dan
berkontribusi. Tidak ada manfaatnya jika kita hanya menonton dan
berkomentar saat melihat persoalan ummat ini.
Coba bandingkan saat lampu padam di gelap malam, ada seseorang hanya
berteriak-teriak ditengah kegelapan, mengkritik pengelola listrik
negara, dan seterusnya. Seorang aktivis yang baik adalah ketika tahu
bahwa listrik padam dan ruangan menjadi gelap, mereka akan berdiri dari
tempat duduknya kemudian bergerak mencari sesuatu yang bisa
menggantikan cahaya lampu listrik, menyalakan lilin atau lentera.
Sahabatku, sungguh keshalihan itu bukan dari kata, kemuliaan itu bukan
dari ucapan. Namun, dengan amal dan kerja nyata. Dan surga tidak akan
bisa diraih tanpa melakukan perjuangan.