بسم الله الرحمن الرحيم
Setiap insan tentu mendambakan
kehidupan yang bahagia, damai dan jauh dari berbagai kesusahan. Untuk
tujuan ini, semua orang rela mengorbankan harta, waktu dan tenaga yang
mereka miliki demi meraih apa yang mereka sebut sebagai ‘kebahagiaan dan
ketenangan hidup yang sejati’.
Ironisnya, dalam upaya mencari kebahagiaan dan ketenangan hidup
ini, di antara mereka banyak yang menempuh jalan yang keliru dan justru
menjerumuskan mereka ke dalam jurang kesengsaraan dan malapetaka, dengan
mengikuti godaan dan tipu daya setan yang selalu menghiasi keburukan
amal perbuatan manusia. Allah berfirman:
{أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ}
“Apakah orang yang dihiasi perbuatannya yang buruk (oleh setan) lalu
ia menganggap perbuatannya itu baik, (sama dengan dengan orang yang
tidak diperdaya setan?), maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya”
(QS Faathir:8).Allah Yang Maha Menciptakan, Menguasai dan Mengatur alam semesta beserta semua makhluk di dalamnya, Dialah yang memiliki dan menguasai segala bentuk kebaikan dan kebahagiaan yang dibutuhkan oleh semua manusia, dan semua itu akan diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara mereka. Allah berfirman:
{قُلِ اللَّهُمَّ
مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنزعُ الْمُلْكَ
مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ
الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ}
“Katakanlah, “Ya Allah Yang maha memiliki semua kerajaan (kekuasaan
di alam semesta), Engkau berikan kekuasaan kepada orang yang Engkau
kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari orang yang engkau kehendaki.
Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang
yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mulah segala kebaikan. Sesungguhnya
Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS Ali ‘Imraan: 26).Dan orang-orang yang dikehendaki dan dipilih-Nya untuk meraih kebahagiaan hidup adalah orang-orang beriman yang selalu berpegang teguh dengan petunjuk-Nya. Allah berfirman:
{فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلا يَضِلُّ وَلا يَشْقَى}
“Maka jika datang kepadamu (wahai manuia) petunjuk daripada-Ku, lalu
barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, maka dia tidak akan tersesat dan
tidak akan sengsara (dalam hidupnya)” (QS Thaahaa: 123).Dalam ayat lain, Dia berfirman:
{مَنْ عَمِلَ صَالِحاً
مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً
طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ}
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik/bahagia (di dunia), dan sesungguhnya akan
Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih
baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. ِِan-Nahl:97).Ketenangan hidup diraih dengan materi duniawi ?
Kebanyakan manusia menilai dengan kebodohannya bahwa kebahagiaan dan ketenangan hidup diraih dengan mengumpulkan harta dan kedudukan duniawi sebanyak-banyaknya, sebagai akibat dari kuatnya dominasi hawa nafsu dan pemikiran materialistis dalam diri mereka. Allah berfirman:
{يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ}
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (nampak) dari kehidupan dunia;
sedangkan tentang (kehidupan) akhirat mereka lalai” (QS ar-Ruum:7).Artinya: mereka hanya memahami dan mengutamakan perhiasan duniawi yang tampak di mata mereka, sedangkan balasan kebaikan yang kekal abadi di akhirat mereka lalaikan[1].
Oleh karena itu, mereka berusaha sekuat tenaga dan berlomba-lomba mengumpulkan harta benda duniawi, tanpa mengenal lelah dan waktu, yang mana sifat tamak ini, paling tidak akan membawa dua kerusakan dan keburukan besar:
1- Cinta kepada dunia/harta yang berlebihan
2- Ambisi mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya tanpa memperdulikan cara yang halal atau haram.
Dua kerusakan besar ini sudah cukup menjadi awal malapetaka besar bagi seorang hamba dan pada gilirannya akan membawa bencana-bencana besar lainnya, jika hamba dia tidak menyadari bahaya ini dan bertobat kepada Allah .
Renungkanlah sabda Rasulullah berikut ini:
« وَاللَّهِ لاَ
الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ، وَلَكِنْ أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ
عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ،
فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ »
“Demi Allah, bukanlah kemiskinan yang aku takutkan (akan merusak
agama) kalian, akan tetapi yang aku takutkan bagi kalian adalah jika
(perhiasan) dunia dibentangkan (dijadikan berlimpah) bagi kalian
sebagaimana (perhiasan) dunia dibentangkan bagi umat (terdahulu) sebelum
kalian, maka kalianpun berambisi dan berlomba-lomba mengejar dunia
sebagaimana mereka berambisi dan berlomba-lomba mengejarnya, sehingga
(akibatnya) dunia/harta itu membinasakan kalian sebagaimana dunia
membinasakan mereka”[2].Arti sabda beliau “…sehingga (akibatnya) dunia/harta itu membinasakan kalian”: dunia menjerumuskan kalian ke dalam (jurang) kebinasaan, disebabkan persaingan yang tidak sehat untuk mendapatkannya, kecintaan yang berlebihan terhadapnya serta kesibukan dalam mengejarnya sehingga melalaikan dari mengingat Allah dan balasan di akhirat[3].
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda:
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ
“Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta”.Maksudnya: menyibukkan diri dengan harta secara berlebihan adalah fitnah (yang merusak agama seseorang) karena harta dapat melalaikan pikiran manusia dari melaksanakan ketaatan kepada Allah dan membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman-Nya:
{إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ}
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu merupakan fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar” (QS at-Tagaabun:15)[4].Dalam dua hadits ini terdapat nasehat berharga bagi orang yang dibukakan baginya pintu-pintu harta agar hendaknya dia bersikap waspada dari keburukan fitnah dan kerusakan harta, dengan tidak berlebihan dalam mencintainya dan terlalu berambisi dalam berlomba-lomba mengejarnya[5].
Maka mungkinkah seseorang akan merasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam hidupnya kalau sifat yang merupakan sumber kebinasaan dan bencana ini selalu ada pada dirinya?
Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan bahwa malapetaka dan bencana yang menimpa orang yang memiliki sifat ini akan terus bertambah besar seiring dengan semakin rakusnya dia mengejar harta benda duniawi dan bayaknya dia mengkonsumsi harta yang haram. Hal ini dikarenakan secara tabiat asal nafsu manusia tidak akan pernah merasa puas/cukup dengan harta dan kemewahan dunia yang dimilikinya, bagaimanapun berlimpahnya[6], kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah .
Rasulullah mengingatkan hal ini dalam sabda beliau: “Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah (yang penuh berisi) harta/emas maka dia pasti akan menginginkan lembah (harta) yang ketiga”[7].
Sifat rakus inilah yang akan terus memacunya untuk mengejar harta dan mengumpulkannya siang dan malam, dengan mengorbankan apapun untuk tujuan tersebut dan tanpa memperdulikan cara-cara yang halal atau haram. Sehingga tenaga dan pikirannya akan terus terkuras untuk mengejar ambisi tersebut, dan ini merupakan kerusakan sekaligus siksaan besar bagi dirinya di dunia, sebelum siksaan yang lebih besar di akhirat nanti.
Imam Ibnul Qayyim berkata: “Orang yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) tidak akan lepas dari tiga (kerusakan dan penderitaan): Kekalutan (pikiran) yang tidak pernah hilang, keletihan yang berkepanjangan dan penyesalan yang tiada akhirnya[8].
Dalam hal ini, salah seorang ulama salaf berkata: “Barangsiapa yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) maka hendaknya dia mempersiapkan dirinya untuk menanggung berbagai macam penderitaan”[9].
Dampak buruk dan bencana dari harta yang haram dalam kehidupan manusia
Sebagaimana yang kami paparkan di atas bahwa kebahagiaan dan ketenangan hidup sejati hanya Allah akan anugerahkan kepada orang-orang yang berpegang teguh dengan petunjuk-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, termasuk dalam hal ini, menjauhi harta haram dan segala sesuatu yang didapatkan dengan cara yang tidak dibenarkan dalam Islam
Allah enggan untuk memberikan kebahagiaan dan ketenangan hidup bagi orang-orang yang berpaling dari petunjuk-Nya, di dunia dan akhirat, sebagaimana firman-Nya:
{وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ
ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
أَعْمَى. قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا.
قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ
تُنْسَى}
“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan/petunjuk-Ku, maka
sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit/sengsara (di dunia), dan
Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.
Berkatalah ia: “Wahai Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam
keadaan buta, padahal aku dahulunya seorang yang melihat”. Allah
berfirman: “Demikianlah, dulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka
kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari inipun kamu dilupakan”
(QS Thaahaa: 124-126).Imam Ibnu Katsir berkata: “Artinya: barangsiapa yang menyelisihi perintah-Ku dan ketentuan syariat yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku , (dengan) berpaling darinya, melupakannya dan mengambil selain petunjuknya, maka baginya penghidupan yang sempit/sengsara, yaitu di dunia, sehingga dia tidak akan merasakan ketenangan (hidup) dan tidak ada kelapangan dalam hatinya. Bahkan hatinya sempit dan sesak karena penyimpangannya, meskipun (terlihat) secara lahir (hidupnya) senang, berpakaian, makan dan bertempat tinggal sesukanya, akan tetapi hatinya selalu diliputi kegundahan, keguncangan dan keraguan, karena jauhnya dari kebenaran dan petunjuk-Nya”[10].
Maka orang yang menimbun harta yang haram tidak mungkin merasakan kebahagiaan dan ketenangan sejati dalam hidupnya, berapapun banyaknya harta dan kemewahan duniawi yang dimilikinya, bahkan ini justru akan membawa penderitaan yang berkepanjangan dalam hidupnya.
Oleh karena itu, secara khusus, beberapa ulama ahli tafsir menafsirkan ‘penghidupan yang sempit/sengsara’ dalam ayat ini dengan kasbul haraam (penghasilan/harta yang haram)[11], yang ini menunjukkan bahwa harta yang haram merupakan salah satu sebab besar yang menjadikan manusia selalu ditimpa bencana dan kesulitan dalam hidupnya.
Imam Ibnul Jauzi menukil ucapan shahabat yang mulia, ‘Abdullah bin ‘Abbas , bahwa beliau berkata: “Penghidupan yang sempit (artinya) disempitkan baginya pintu-pintu kebaikan (penghasilan yang halal), sehingga dia tidak mendapatkan petunjuk kepada kebaikan dan dia mempunyai penghasilan yang haram sebagai usahanya”.
Semakna dengan itu, imam adh-Dhahhak dan ‘Ikrimah berkata: “Penghidupan yang sempit ini yaitu al-kasbul khabiits (usaha/penghasilan yang buruk/haram) [12].
Berikut ini, beberapa keburukan dan kerusakan akibat harta yang didapatkan dengan cara haram, sebagaimana yang dijelaskan dalam dalil-dalil dari al-Qur-an dan hadits Rasulullah :
1- Mengkonsumsi harta yang haram adalah perbuatan maksiat kepada Allah dan mengikuti langkah-langkah setan/Iblis. Allah berfirman:
{يَاأَيُّهَا النَّاسُ
كُلُوا مِمَّا فِي الأرْضِ حَلالاً طَيِّبًا وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ
الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ. إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ
بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا
تَعْلَمُونَ}
“Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di
bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan karena
sesungguhnya syaithan adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya
syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, serta
mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui” (QS al-Baqarah:
168-169).Mengikuti langkah-langkah syaithan adalah dengan mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan-Nya, termasuk dalam hal ini memakan harta yang haram[13].
2- Ancaman azab Neraka bagi orang yang mengkonsumsi harta yang haram, Rasulullah bersabda: “Tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari (makanan) yang haram (dan) neraka lebih layak baginya”[14].
3- Mengkonsumsi harta yang haram adalah termasuk sebab utama tidak dikabulkannya doa dan ini adalah sebesar-besar bencana bagi hamba.
Rasulullah pernah bersabda menceritakan tentang seorang laki-laki yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya acak-acakan, tubuhnya dipenuhi debu, ketika itu lelaki tersebut berdoa dengan mengangkat kedua tangannya ke langit dan menyebut nama Allah : Wahai Rabb, Wahai Rabb…, lalu beliau bersabda:
((ومطعمه حرام ومشربه حرام وملبسه حرام وغذي بالحرام، فأنى يستجاب لذلك ؟))
“(Sedangkan) laki-laki tersebut mengkonsumsi makanan dan minuman yang
tidak halal, pakainnya pun tidak halal dan selalu diberi (makanan) yang
tidak halal, maka bagaimana mungkin permohonannya akan dikabulkan (oleh
Allah )?[15].Dalam hadits ini Rasulullah menjelaskan bahwa orang tersebut sebenarnya telah menghimpun banyak sebab yang seharusnya memudahkan terkabulnya permohonan dan doanya, akan tetapi karena perbutan maksiat yang dilakukannya, yaitu mengkonsumsi harta yang haram, sehingga pengabulan doa tersebut terhalangi[16].
Inilah makna firman Allah :
{وَإِذَا سَأَلَكَ
عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ، أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا
دَعَانِ، فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ
يَرْشُدُونَ}
“Dan jika hamba-hamba-Ku, maka (jawablah) bahwa sesungguhnya Aku Maha
Dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon
kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi (segala perintah)-Ku dan
beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam petunjuk”
(al-Baqarah: 186).Salah seorang ulama terdahulu, Yahya bin Mu’adz ar-Razi[17], mengungkapkan hal ini dalam ucapan beliau:
لاَ تَسْتَبْطِئَنَّ اْلإِجابَةَ إذا دَعَوْتَ، وَقَدْ سَدَدْتَ طُرُقَها باِلذُّنُوْبِ
“Janganlah sekali-kali kamu merasa tidak dikabulkan (permohonanmu)
ketika kamu berdoa (kepada Allah ), karena sungguh kamu (sendiri) yang
telah menutup pintu-pintu pengabulan (doamu) dengan dosa-dosamu”[18].Musibah apa yang lebih besar bagi hamba jika doanya tidak dikabulkan oleh Allah ? Bukankah setiap saat dia punya kebutuhan dalam urusan dunia maupun agama? Lalu siapakah yang dapat memenuhi kebutuhan dan memudahkan urusannya selain Allah ? Siapakah yang dapat mengabulkan permohonannya jika Allah berpaling dari-Nya?
Maha benar Allah yang berfirman:
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيد}
“Hai manusia, kamulah yang butuh kepada (rahmat) Allah; dan Allah
Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak membutuhkan sesuatu) lagi Maha Terpuji”
(QS Faathir: 15).Bahkan karena doa merupakan inti dari ibadah shalat, maka dikhawatirkan shalat seorang yang mengkonsumsi harta yang haram tidak diterima oleh Allah . Ibnu ‘Abbas berkata: “Allah tidak menerima shalat seorang yang di dalam perutnya ada (makanan) yang haram, sampai dia bertaubat kepada Allah dari perbuatan tersebut”[19].
4- Tidak diterimanya harta yang haram meskipun diinfakkan/dibelanjakan dalam ketaatan kepada Allah .
Rasulullah bersabda: “Sesungghnya Allah Maha Baik dan Dia tidak menerima kecuali yang baik (halal)”[20].
Imam Sufyan ats-Tsauri berkata: “Barangsiapa yang menginfakkan (harta) yang haram dalam ketaatan (kepada Allah ) maka dia seperti orang yang membersihkan (mencuci) pakaian dengan air kencing, padahal pakaian tidak dapat dibersihkan kecuali dengan air (yang bersih dan suci), (sebagaimana) dosa tidak dihapuskan kecuali dengan (harta) yang halal”[21].
5- Mengkonsumsi harta yang haram merupakan sebab terhalangnya seseorang dari melakukan amal shaleh, sebagaimana mengkonsumsi harta yang halal merupakan sebab yang memotivasi manusia untuk beramal shaleh.
Allah mengisyaratkan eratnya keterkaitan antara mengkonsumsi makanan yang halal dengan semangat beramal shaleh, dalam firman-Nya:
{يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ}
“Wahai rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik (halal), dan
kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan” (QS al-Mu’minuun: 51).Ayat ini menunjukkan bahwa mengkonsumsi makanan yang halal merupakan sebab yang mendorong manusia untuk beramal shaleh dan sebab diterimanya amal shaleh tersebut[22].
6- Mengkonsumsi harta yang haram termasuk sifat mayoritas orang-orang dimurkai oleh Allah (orang-orang Yahudi). Allah berfirman:
{وَتَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
“Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi)
bersegera berbuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya
amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu” (QS al-Maaidah: 62).Maka melakukan perbuatan ini berarti meniru dan menyerupai sifat mereka, padahal Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka”[23].
7- Tersebarnya harta yang haram merupakan sebab turunnya bencana dan azab dari Allah kepada manusia.
Rasulullah bersabda: “Apabila perbuatan zina dan riba telah tampak (tersebar) di suatu desa, maka sungguh mereka telah mengundang azab (dari) Allah untuk menimpa mereka” [24].
Inilah makna firman Allah :
{ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي
الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ
بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ}
“Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat)[25]
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS Ar
Ruum:41).Demikian juga firman-Nya:
{وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ}
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh
perbuatan (dosa)mu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu)” (QS asy-Syuura:30).Oleh karena keburukan dan kerusakan ini, imam adz-Dzahabi memasukkan perbuatan mengkonsumsi harta yang haram dengan cara apapun termasuk dosa-dosa yang sangat besar, dalam kitab beliau “al-Kaba-ir” (hal. 118).
Harta halal sebab kecukupan, kelapangan hati dan ketenangan hidup
Dalam doa masyhur yang diajarkan oleh Rasulullah kepada ‘Ali bin Abi Thalib :
« اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ »
“Ya Allah, berikanlah kecukupan bagiku dengan rezki-Mu yang halal
(dan jauhkanlah aku) dari yang haram, serta cukupkanlah aku dengan
karuniamu (sehingga aku tidak butuh) kepada selain-Mu”[26].Hadits yang agung ini menunjukkan bahwa rezki yang halal adalah sebab kecukupan dan limpahan karunia dari Allah kepada manusia, dan jika Allah telah mencukupkan seorang hamba dengan karunia-Nya maka siapakah yang dapat mencelakakan dan menghinakan hamba tersebut? Allah berfirman:
{أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ}
“Bukankan Allah maha mencukupi hamba-Nya (dalam semua keperluannya)?” (QS az-Zumar: 36).Maka kecukupan, kelapangan hati dan ketenangan hidup manusia hanya diraih dengan mengikuti petnjuk Allah dan mengikuti ketentuan syariat-Nya, termasuk dalam hal ini mencukupkan diri dengan harta yang halal dan menjauhi yang haram.
Allah berfirman:
{مَنْ عَمِلَ صَالِحاً
مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً
طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ}
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami
berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan ” (QS. an-Nahl:97).Para ulama salaf menafsirkan makna “kehidupan yang baik (di dunia)” dalam ayat di atas dengan “kebahagiaan hidup” atau “rezki yang halal” dan kebaikan-kebaikan lainnya[27].
Dalam ayat lain, Allah menjanjikan kemudahan dan terbukanya pintu rezki bagi orang yang selalu berpegang teguh dengan syariat-Nya, tidak terkecuali dalam hal mencari penghasilan yang baik dan halal.
Allah berfirman:
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ}
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan
baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang dihadapinya), dan
memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya” (QS.
ath-Thalaaq:2-3).Dalam ayat berikutnya Allah berfirman:
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً}
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan
baginya kemudahan dalam (semua) urusannya” (QS. ath-Thalaaq:4).Artinya: Allah akan meringankan dan memudahkan (semua) urusannya, serta menjadikan baginya jalan keluar dan solusi yang segera (menyelesaikan masalah yang dihadapinya)[28].
Sifat qana’ah (selalu merasa cukup) adalah kekayaan yang paling berharga
Sifat rakus dan ambisi besar untuk mengejar perhiasan dunia menjadikan seorang manusia tidak pernah merasa puas sehingga dia selalu hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan, bagaimanapun berlimpahnya harta yang dimilikinya, dan cukuplah ini sebagai bencana besar yang selalu menyertai hidupnya.
Renungkanlah hadits Rasulullah berikut:
Dari Zaid bin Tsabit beliau berkata: Kami mendengar Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)”[29].
Oleh karena itu, yang menentukan kebahagiaan hidup dan ketenangan hati seorang hamba, dengan taufik dari Allah adalah sifat qana’ah (merasa cukup dan puas dengan rezki halal yang Allah berikan) yang akan melahirkan rasa ridha dan selalu merasa cukup dalam diri manusia, dan inilah kekayaan yang sebenarnya. Sebagaimana sabda Rasululah : “Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya kemewahan dunia (harta), akan tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa (hati)”[30].
Sifat qana’ah ini adalah salah satu ciri yang menunjukkan kesempurnaan iman seseorang, karena sifat ini menunjukkan keridhaan orang yang memilikinya terhadap segala ketentuan dan takdir Allah.
Rasulullah bersabda: “Akan merasakan kemanisan (kesempurnaan) iman, orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad sebagai rasulnya”[31].
Arti “ridha kepada Allah sebagai Rabb” adalah ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak diberikan-Nya[32].
Lebih daripada itu, orang yang memiliki sifat qana’ah dialah yang akan meraih kebaikan dan kemuliaan dalam hidupnya di dunia dan di akhirat nanti, meskipun harta yang dimilikinya tidak banyak. Rasulullah bersabda: “Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezki yang Allah berikan kepadanya”[33].
Akhirnya kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia menganugerahkan kepada kita semua rezki yang halal dan menjauhkan kita dari harta yang haram, serta memudahkan kita memiliki sifat qana’ah dan semua sifat-sifat baik yang diridhai-Nya, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
Ya Allah, berikanlah kecukupan bagiku dengan rezki-Mu yang halal (dan jauhkanlah aku) dari yang haram,
serta cukupkanlah aku dengan karuniamu (sehingga aku tidak butuh) kepada selain-Mu.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
KotaKendari, 23 Ramdhan 1433 H
[1] Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/560) dan “taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 636).
[2] HSR al-Bukhari (no. 2988) dan Muslim (no. 2961).
[3] Lihat catatan kaki kitab “Shahiihul Bukhari” (3/1152).
[4] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/507).
[5] Nasehat Imam Ibnu Baththaal yang dinukil dalam kitab “Fathul Baari” (11/245).
[6] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Igaatsatul lahfan” (hal. 84 – Mawaaridul amaan).
[7] HSR al-Bukhari (no. 6075) dan Muslim (no. 116).
[8] Kitab “Igaatsatul lahfan” (hal. 83-84, Mawaaridul amaan).
[9] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Igaatsatul lahfan” (hal. 83 – Mawaaridul amaan).
[10] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/227).
[11] Lihat penjelasan imam Ibnul Jauzi dalam kitab “Zaadul masiir” (5/331).
[12] Kitab “Zaadul masiir” (5/332).
[13] Lihat kitab “Zaadul masiir” (1/172) dan “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 80).
[14]
HR Ahmad (3/321), ad-Daarimi (no. 2776) dan al-Hakim (4/468),
dishahihkan oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan syaikh
al-Albani dalam “Ash-Shahiihah” (6/108).
[15] HSR Muslim (no. 1015).
[16] Lihat kitab “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hal. 105-107).
[17] Biografi beliau dalam kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” (13/15).
[18]
Diriwayatkan oleh imam al-Baihaqi dalam “Syu’abul iman” (no. 1154) dan
dinukil oleh imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam “Jaami’ul ‘uluumi wal
hikam” (hal. 108).
[19]
Dinukil oleh imam adz-Dzahabi dalam kitab “al-Kaba-ir” (hal. 118) dan
imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (hal.
101).
[20] HSR Muslim (no. 1015).
[21] Dinukil oleh imam adz-Dzahabi dalam kitab “al-Kaba-ir” (hal. 118).
[22] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 81).
[23] HR Ahmad (2/50) dan Abu Dawud (no. 4031), dinyatakan hasan shahih oleh syaikh al-Albani.
[24]
HR al-Hakim (2/43) dan ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabir” (1/178),
dinyatakan shahih oleh imam al-Hakim, adz-Dzahabi dan syaikh al-Albani
dalam “Shahiihul jaami’ish shagiir” (no. 679).
[25] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (3/576).
[26]
HR Ahmad (1/153), at-Tirmidzi (5/560) dan al-Hakim (4/468), dishahihkan
oleh al-Hakim, disepakati oleh adz-Dzahabi dan dinyatakan hasan oleh
syaikh al-Albani dalam “Ash-Shahiihah” (no. 266).
[27] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (2/772).
[28] Tafsir Ibnu Katsir (4/489).
[29]
HR Ibnu Majah (no. 4105), Ahmad (5/183), ad-Daarimi (no. 229), Ibnu
Hibban (no. 680) dan lain-lain dengan sanad yang shahih, dinyatakan
shahih oleh Ibnu Hibban, al-Bushiri dan syaikh al-Albani.
1 HSR al-Bukhari (no. 6081) dan Muslim (no. 120).
[31] HSR Muslim (no. 34).
[32] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 81).
[33] HSR Muslim (no. 1054).