بسم الله الرحمن الرحيم
Imam adz-Dzahabi[1] menukil subuah kisah dalam biografi imam besar ahli hadits dari generasi atba’ut tabi’in, imam Malik bin Anas al-Ashbuhi al-Madani (wafat tahun 179 H)[2], kisah tersebut sebagai berikut:Seorang ahli ibadah yang tinggal di kota Madinah, yaitu ‘Abdullah bin ‘Umar bin Hafsh al-‘Umari pernah menulis sebuah surat yang berisi nasehat kepada imam Malik untuk memotivasi beliau agar lebih banyak menyendiri dan mengerjakan amal shaleh, karena imam Malik setiap hari disibukkan dengan kegiatan menyampaikan dan meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah kepada para penuntut ilmu hadits yang datang ke Madinah pada saat itu.
Kemudian imam Malik menulis (suratbalasan) kepadanya (yang isinya): “Sesungguhnya Allah telah membagikan amal-amal shaleh sebagaimana Dia membagikan rezki-Nya untuk (manusia). Sehingga boleh jadi seseorang dibukakan (pintu kebaikan) baginya dalam (ibadah) shalat (dengan rajin mengamalkan shalat-shalat sunnah) tapi tidak dibukakan (pintu kebaikan) baginya dalam (ibadah) puasa, sementara orang lain ada yang dibukakan (pintu kebaikan) baginya dalam bersedekah (dengan banyak berinfak di jalan Allah) tapi tidak dibukakan (pintu kebaikan) baginya dalam (ibadah) puasa, ada juga orang yang dibukakan (pintu kebaikan) baginya dalam berjihad (di jalan Allah , tapi tidak dibukakan pintu kebaikan baginya dalam ibadah lainnya).
Maka (kegiatan) menyebarkan ilmu (hadits-hadits Rasulullah ) termasuk amal kebaikan yang paling utama, dan sungguh aku telah ridha dengan (pintu kebaikan) yang telah dibukakan Allah untukku dalam menyebarkan ilmu (petunjuk Rasulullah ). Aku tidak merasa amal yang aku lakukan ini (keutamaannya) di bawah amal yang anda lakukan, dan aku berharap (kepada Allah ) agar kita berdua (selalu) di atas kebaikan dan ketaatan (kepada-Nya)”.
Kisah ini menggambarkan tingginya pemahaman agama para ulama salaf, karena mereka memahami keutamaan masing-masing amal shaleh untuk kemudian mereka memilih amal yang paling utama di antaranya.
Jawaban imam Malik di atas bukan berarti beliau menolak nasehat untuk lebih giat dalam beribadah kepada Allah , akan tetapi beliau hanya ingin menjelaskan bahwa kegiatan rutin yang beliau tekuni, yaitu mengajarkan ilmu tentang sunnah Rasulullah , adalah termasuk amal shaleh yang paling utama di sisi Allah , karena dengan mengenal sunnah Rasulullah manusia akan bisa beribadah kepada Allah dengan benar sesuai dengan keridhaan-Nya. Dalam hal ini, imam Ibnul Mubarak berkata: “Aku tidak mengetahui setelah kenabian, tingkatan/kedudukan yang lebih utama daripada menyebarkan ilmu (tentang sunnah Rasulullah )”[3].
Imam Malik sendiri adalah seorang imam panutan yang terkenal dengan sifat-sifat mulia dan tekun beribadah kepada Allah [4].
Beberapa pelajaran berharga yang dapat kita petik dari kisah di atas:
- Luasnya rahmat dan karunia Allah bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, karena Dia mensyariatkan banyak jalan kebaikan dan amal shaleh dalam Islam untuk mencapai keridhaan-Nya, sehingga jika seorang hamba tidak mampu mengamalkan suatu amal shaleh tertentu maka dia bisa mengamalkan amal shaleh lainnya yang sesuai dengan kemampuannya. Allah berfirman:
{يَهْدِي
بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلامِ وَيُخْرِجُهُمْ
مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ
مُسْتَقِيمٍ}
Dengan kitab itulah (al-Qur’an) Allah menunjuki orang-orang yang
mengikuti keridhaan-Nya ke jalan-jalan keselamatan, dan (dengan kitab
itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari kegelapan-kegelapan
kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki
mereka ke jalan yang lurus” (QS al-Maaidah:16).- Amal-amal shaleh dalam Islam memiliki kedudukan dan keutamaan yang berbeda-beda, maka orang yang diberi petunjuk untuk memahami agama Allah bisa menilai keutamaan masing-masing amal shaleh tersebut untuk kemudian memilih yang terbaik untuk dirinya.
- Yang diperhitungkan dan dinilai di sisi Allah dari amal perbuatan manusia adalah kwalitas amal dan bukan sekedar kwantitasnya. Nilai kwalitas amal tergantung dari keikhlasan dalam hati dan kesesuaian amal tersebut secara lahir dengan praktek yang dicontohkan oleh Rasulullah . Inilah makna firman Allah :
{الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُور}
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa
diantara kamu yang paling baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun” (QS al-Mulk: 2).Arti “amal yang paling baik” adalah yang paling ikhlas karena Allah semata dan paling sesuai dengan petunjuk Rasulullah [5].
- Kedudukan mulia di sisi Allah dicapai dengan melaksanakan seluruh kewajiban yang Allah perintahkan dalam Islam, kemudian menyempurnakannya dengan amal-amal shaleh yang bersifat anjuran, inilah cara untuk meraih predikat sebagai wali (kekasih) Allah . Dalam hadits qudsi Allah berfirman: “Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu (amal shaleh) yang lebih Aku cintai daripada amal yang Aku wajibkan kepadanya (dalam Islam), dan senantiasa hamba-Ku itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal shaleh yang dianjurkan (dalam Islam) sehingga Akupun mencintainya”[6].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 22 Dzulhijjah 1431 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
[1] Dalam kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” (8/115)..
[2]
Beliau adalah imam panutan, syaikhul Islam, penghafal hadits, ahli
fikih yang ternama, imam negeri tempat hijrah Rasulullah (kota
Madinah). Bografi beliau dalam “Tadzkiratul huffaazh” (1/207).
[3] Kitab “Tahdzibul kamal” (16/20) dan “Siyaru a’laamin nubala’” (8/387).
[4] Lihat ketengan imam Abu Nu’aim dalam kitab “Hilyatul auliyaa’” (6/316).
[5] Lihat kitab “Tafsir al-Bagawi” (hal. 175).
[6] HSR al-Bukhari (no. 6137).